Tugas 3. Analisis Strategi bersaing antara giant dan Town Square
TUGAS 3.
ANALISIS STRATEGI BERSAING ANTARA GIANT DAN TOWN SQUARE DALAM MARKETING FACE TO FACE
Loemongga Haoemasan, Presiden Direktur PT Asiana Lintas Ciptakemang sangat percaya diri ketika mengumumkan rencana peluncuran Nirvana Apartment tahap 2 dan 3. “Hanya saja yang terbaru ini ukurannya lebih kecil, dan harga jualnya lebih kompetitif,” ucapnya. Nirvana Apartment yang berlokasi di Kemang, Jakarta Selatan, muncul perdana pada 2006 dengan harga ‘menantang’ yakni Rp15 juta/m2. Ditilik dari harganya, jelas, mengisi ceruk pasar kelas premium. Namun, fakta penjualan yang hanya mampu membukukan 35 unit (65% dari total 56 unit) selama satu setengah tahun justru sangat tidak ‘menantang’. Asal tahun saja, proyek ini dirilis pada Juni 2006. Jadi, per bulan cuma terjual sebanyak rata-rata 1,9 unit!. Pencapaian itu mengindikasikan bahwa komposisi pasar kelas atas tidak banyak berubah.
Padahal, dukungan perbankan dalam kucuran pembiayaan yang memudahkan calon konsumen membeli apartemen, sangat jor-joron. Tren suku bunga yang dipatok pun sudah menyentuh single digit antara 8,9-9,9%/bulan.Mari cermati hasil riset Jones Lang LaSalle, yang mengungkapkan angka total suplai apartemen secara kumulatif di Jakarta, mencapai 45.608 unit. Sebanyak 58% di antaranya berasal dari kelas menengah seharga Rp7 juta-10 juta/m2. Disusul kemudian apartemen kelas menengah-bawah sebanyak 34% (Rp3 juta-6,5 juta) dan sebagian kecil sisanya, 8% kelas atas (Rp12 juta ke atas/m2). Seretnya penjualan pada kasus Nirvana Apartment seolah menegaskan hasil riset Procon yang menunjukkan terjadinya depresiasi penyerapan pasar. Pada kuartal ketiga tahun 2007, anjloknya penjualan mencapai sebesar 29,5% dari total pasok sebanyak 11.152 unit, dibanding kuartal sebelumnya yang masih meraup penjualan sekitar 3.668 unit. Nirvana Apartment tidak sendiri. Masih banyak apartemen-apartemen sekelas yang berjibaku menaklukkan pasar. Menurut Chief Business Development Officer Grup Pakuwon, Ivy Wong, ada banyak faktor yang menyebabkan apartemen kelas atas sulit diterima pasar. Ketiadaan diferensiasi konsep, persaingan yang ketat, berubahnya preferensi pasar adalah penyebab utama kegagalan pasar apartemen seharga Rp10 juta ke atas per meter persegi. “Pasar kelas atas jenuh melihat konsep proyek yang itu-itu saja. Sudah begitu, bermunculan penawaran yang lebih menarik dari kelas yang di bawahnya, namun menawarkan fasilitas dan keunggulan yang nyaris serupa,” ungkap Ivy.Maka, jangan heran jika ada beberapa apartemen mewah di Sudirman CBD, Jakarta Pusat, di Mega Kuningan, dan Dharmawangsa,
keduanya Jakarta Selatan, hingga saat ini masih memasang advertensi di koran-koran Nasional. Mereka membutuhkan waktu lebih dari tiga tahun untuk meraup sebanyak mungkin pembeli dan tentu saja merampungkan pembangunan fisik. Ini adalah petunjuk, bahwa jika tidak ditopang dana berukuran jumbo, dalam arti hanya mengandalkan penjualan dan pinjaman bank, progres konstruksi akan berjalan abnormal. Beberapa proyek tersebut, memang akhirnya sanggup merampungkan pembangunannya, lebih karena ia (khusus yang di SCBD) adalah milik kelompok usaha besar yang nota bene punya core dan beberapa sektor bisnis raksasa. Mereka bisa menerapkan pola subsidi silang. Kalau hanya mengandalkan penjualan an sich, niscaya belum tentu mampu tegak berdiri. Berbeda dengan apartemen kelas menengah bawah. Tahun 2007 merupakan momentum tepat bagi sektor properti jenis ini. Beberapa proyek mengalami peningkatan penjualan pasca lansiran beberapa waktu sebelumnya. The 18th Residences dan Thamrin Residences mencetak penjualan menakjubkan. Hingga kuartal ketiga 2007 telah terserap sebanyak 80%. Kelas di bawahnya, seperti Margonda Residences, di Depok, dan Jakarta Residences, di Jl Kebon Melati, Jakarta Pusat, juga mengalami hal serupa. Yang pertama bahkan mengalami oversubscribe. Ini dimungkinkan karena faktor lokasi yang memiliki pasar potensial besar. Dikelilingi oleh sejumlah perguruan tinggi ternama dengan jumlah mahasiswa puluhan ribu orang, akses yang mudah dijangkau, harga yang relatif lebih murah serta belum ada pesaing.
Kondisi aktual itu yang menyebabkan ia diburu calon investor. Kesuksesan Margonda Residences lantas diikuti The Lavande di Jl Soepomo, Jakarta Selatan. Ia juga berada di sekitar lokasi beberapa perguruan tinggi dan perkantoran. Dengan harga hanya Rp6,5 juta/m2, masuk akal jika hingga kuartal ketiga penjualannya telah mencapai 40%. Padahal baru diluncurkan awal tahun ini. Menurut General Manager Sales and Marketing PT Intersatria Budi Karya Pratama Roberto Gani, “Pergerakan transaksi untuk apartemen menengah-bawah sangat aktif. Meski persaingannya lumayan ketat, namun jika segmentasi pasar yang dibidik tepat, pasti diburu pembeli,” ujarnya. Menariknya, apartemen kelas menengah-bawah ini dirancang tunggal. Mereka tidak dipadukan dengan jenis properti lainnya seperti yang telah menjadi tren pada kurun 2004-2006.Tahun 2007 juga masih diwarnai tren pengembangan apartemen yang diintegrasikan dengan perkantoran, pusat belanja, hotel, dan pusat hiburan berada dalam satu kompleks pengembangan. Meminimalisasi risiko investasi, karena tidak butuh ekspansi lahan luas. Kendati tidak sebanyak dua tahun lalu, mixed use development yang dilansir pada tahun ini mengalami pergeseran kelas. Hanya dua proyek yang menawarkan konsep seperti ini, yakni Kemang Village dan St Regis. Keduanya menyasar hi-end market. Sebagian besar sisanya (80%) didominasi proyek menengah-bawah. Sementara untuk apartemen sewa, data Procon menyebutkan, pasok mengalami peningkatan 3,1% atau 892 unit. Sebanyak 96 unit di antaranya, berasal dari apartemen servis yang baru beroperasi seperti Forum Residences (Senayan City) dan Beaufort at The Peak, dan mayoritas lainnya dari proyek apartemen sewa. Hingga kuartal tiga tahun ini, pasok kumulatif tercatat 29.263 unit. Komposisi terbesar adalah apartemen sewa (78,4%) atau sebanyak 22.288 unit dan sisanya apartemen khusus sewa dan servis masing-masing 9,1% dan 12,5%. Aktifitas penyewaan terlihat aktif. Meski hanya terjadi pada apartemen sewa bukan servis, yakni sebesar 0,2% menjadi 71,3% (677 unit) dari kuartal sebelumnya yang hanya terserap 569 unit. Dan secara umum harga sewa kuartal ketiga tahun ini relatif stabil. Ekspatriat asing masih menjadi pasar terbesar bagi apartemen servis dan khusus sewa. Untuk pasar kelas atas jenis apartemen ini, kontributor terbesar berasal dari Jepang dan Korea.
2008
Kelas Atas Turun
Menengah Bawah StabilDalam dua tahun ke depan akan semakin banyak proyek apartemen strata title dan sewa yang rampung pembangunannya. Kondisi ini akan meningkatkan angka penyerapan, khususnya kelas menengah-bawah, yang menjadikan apartemennya sebagai tempat tinggal, bukan untuk investasi. Sokongan pembiayaan murah (KPA) akan terus berlanjut dan menjadi pertimbangan utama konsumen sebelum mengambil keputusan. Sementara apartemen kelas atas, bakal menemukan titik jenuhnya jika miskin inovasi. Itulah hal fundamental yang mendorong PT Intiland Development Tbk berani meneruskan kembali apartemen premiumnya, Grand Champa, tahun depan, karena konsepnya telah mengalami revisi dan tentu saja, “Yang satu ini lebih inovatif,” ujar Wakil Presiden Komisaris PT Intiland Development Tbk., Hendro S Gondokusumo. Grand Champa sejauh ini merupakan satu-satunya apartemen yang akan dirilis tahun depan yang sudah berani dipublikasikan pengembangnya. Sementara apartemen-apartemen mewah di Ciputra World Jakarta dan Rasuna Epicentrum masih dirahasiakan nama dan waktu rilisnya. Berbeda kondisinya dengan 2006 atau dua tahun setelahnya. Publikasi dan pengembangan apartemen mewah seakan sebuah racing Formula 1, di mana prestis, investasi ratusan miliar rupiah, dan virus gaya hidup menjadi taruhannya. Khusus apartemen sewa, kondisi pasok berlebih akan membuat tertekannya harga sewa dan tingkat hunian. Hanya apartemen sewa yang dikelola operator jaringan hotel terkemuka yang tetap memiliki permintaan yang stabil.Kendati demikian, secara umum, sejak krisis moneter hingga sepuluh tahun setelahnya, tingkat okupansi untuk apartemen strata title dan sewa masih di bawah level standar industri properti.
Rencana-rencana Konglomerat
Posted on Desember 21, 2007 by hildalexander Kendati harga minyak mentah dunia sudah melonjak ke angka 99 dolar AS/barrel (per 21 November 2007), para pengembang tetap menyongsong tahun 2008 dengan optimisme tinggi. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pengaruhnya tetap ada, yakni meningkatnya ongkos produksi. Tapi kita harus menyikapinya dengan positif. Kita harus mengubah paradigma pengembangan dan pembangunan properti menjadi lebih konstruktif, antisipatif dan benar,” ujar Presiden Jakarta Property Club (kumpulan owner perusahaan pengembang besar), yang juga Wakil Presiden Komisaris PT Intiland Development Tbk., Hendro S Gondokusumo. Hal senada dikatakan Presiden Direktur Grup Gapura Prima, Rudy Margono. Ia bahkan memproyeksikan kondisi bisnis dan industri properti 2008 akan lebih baik dibanding tahun ini. “Meski belum sampai menyamai tahun 2002-2004, namun tetap akan bergairah. Permintaan akan mengalami peningkatan begitu pula dengan penawaran. Beberapa proyek yang ditawarkan pada 2006 dan 2007 akan beroperasi tahun depan. Investasi asing pun kian marak masuk ke Indonesia,” ujar Rudy
Berikut rencana-rencana strategis pengembang besar di tahun 2008:
PT Summarecon Agung Tbk Garap Bekasi
Pengembang pionir di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, ini tahun depan akan melakukan aksi ekspansi ke Bekasi. Di sini, PT Summarecon Agung Tbk., bakal menggarap lahan seluas total 250-300 Ha untuk dikembangkan menjadi township development. Sama seperti di Summarecon Kelapa Gading dan Summarecon Serpong, proyek baru itu nantinya akan berkonten perumahan, perkantoran, hotel, apartemen, shopping mall dan ruko.